Rabu, 14 April 2010

Kamis, 24 Desember 2009
Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini
Pantai Mbuu, Ende

Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flore, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.

Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!


Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.

Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.

Tapi begitu saya mau bersusah payah menuruni sungai yang membelah tempat ini, ternyata saya menemukan scenery yang indah. Scenery yang sederhana antara aliran air, pohon, batuan dan perbukitan yang begitu menjulang di mata. Semuanya seperti mozaik yang dipatrikan pada tempat-tempat yang semestinya. Aliran sungai yang membelah ternyata menciptakan kubangan-kubangan yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi, kubangan air tawar yang bersebelahan dengan air laut.

Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.

Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.

Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.
Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Ditulis oleh baktiar77 jam 22:50 0 komentar Link ke posting ini
Label: wisata alam
Kamis, 26 Februari 2009
Kampung Megalit Bena
Kampung Megalit BenaKampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.
Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.
Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.
Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.
Kampung Megalit Bena
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).
Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.
Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.
Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.

Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.
Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.
Batu Megalit Kampung Bena
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).
Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.
Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.

(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait)
Ditulis oleh baktiar77 jam 01:56 0 komentar
Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)
Sociable
Lencana Facebook
Baktiar Sontani

Buat Lencana Anda
Arsip Tulisan

* ▼ 2010 (3)
o ▼ Maret (1)
+ Senja di Kawaliwu (Sunset on Kawaliwu)
o ► Februari (1)
+ jajan
o ► Januari (1)
+ Sunyaragi - Hiding place

* ► 2009 (2)
o ► Desember (1)
+ Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini
o ► Februari (1)
+ Kampung Megalit Bena

* ► 2008 (4)
o ► November (1)
+ Maumere - Sumur: after tsunami '92
o ► Oktober (2)
+ Oenesu: Panorama Sejuk di Tengah Teriknya Kupang
+ Air Terjun Oehala (Oehala Waterfall)
o ► Juni (1)
+ Blora: Dari Pacaran Sampai Jagung Bakar

Rana Kameraku
Rana Kameraku
Koleksi foto-foto Perjalananku
Link-Link

* Elly Salman Kitchen
* Fotografer.Net
* La Petite Juli
* Mr Bambang Willy Blog
* Perwakilan BPKP NTT
* Situs kang Lutfi

Siapa Yang Berkunjung

Recent Visitors


You! Join Now.


paralanta
Peta


Asri
ian kennedy


michael Riwu-Kaho









See all 0 members...


Grab This!
MyBlogLog




Sites Authored


Ever wonder who's visiting your site?

This widget updates automatically whenever a MyBlogLog member views your site with their avatar and links to their profile and websites. Introduce your readers to each other, register for access to free stats, and help make the web more personable.

Want a widget of your own? Grab This!
Want one of your own? Enter your site's URL below.
Website URL:
No adult content is on this website.
Please wait...
Copy and Paste this code into your sidebar HTML. For help, please see our Tutorials.
Kontributor

* Arum
* baktiar77

Hit Counter
hit tracker
Blue Label laptops

Kamis, 01 April 2010

ENDE – Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak saja dikenal karena Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna yang disebut-sebut salah satu dari sembilan keajaiban dunia, tapi di daerah ini juga terdapat rumah bekas pengasingan Proklamator Republik Indonesia Ir. Soekarno (Bung Karno) yang terdapat di jantung Kota Ende.

Rumah bekas pengasingan Bung Karno itu terletak di Jalan Perwira, Kota Ende. Sekilas memang rumah yang berukuran 12 X 9 meter persegi tersebut tidak jauh berbeda dengan rumah penduduk di sekitarnya karena kontruksinya menyerupai permukiman di sampingnya. Namun di rumah yang kini ditunggui Musa, warga setempat itu ternyata menyimpan kenangan ketika Bung Karno diasingkan pemerintahan Kolonial Belanda.
Yang membedakan rumah tersebut hanya sebuah papan nama bertuliskan: ”Situ Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende di Jalan Perwira, Ende, Dilindungi oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.” Papan nama itu berada di halaman depan rumah itu.
Bung Karno pernah menjalani masa pengasingan selama empat tahun sejak 1934 hingga 1938 di rumah tersebut. Bung Karno memasuki rumah tersebut sejak 14 Januari 1934 bersama istrinya, Inggit Garnasih, mertuanya Ibu Amsih, anak angkatnya Ratna Juami, serta guru anak angkatnya Asmara Hadi.
Di rumah tersebut terdapat ruang tidur, ruang tamu, ruang dapur, serta sebuah ruangan khusus untuk samadi Bung Karno. Sejumlah barang milik Bung Karno seperti tongkat, kopiah, lukisan serta foto-foto Bung Karno selama di Ende masih tersimpan di tempat ini. ”Bung Karno suka bersamadi di salah satu ruangan di belakangan ruang kamarnya. Hingga kini telapak tangan Bung Karno masih berbekas di ruang samadi itu,” cerita Musa, penjaga rumah tersebut.
Selama diasingkan di Ende ini, Bung Karno berhasil menulis sebuah buku berjudul Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara. Buku ini sangat diminati warga setempat bahkan hingga keluar Ende. Buku tersebut menceritakan perenungan Bung Karno di bawah sebuah pohon sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila. Kelima butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Dokoritsu Zyumbi Tyoosakai. Tanggal 1 Juni 1945 itu belakangan diketahui sebagai hari lahirnya Pancasila. Hingga kini pohon sukun tersebut masih berdiri tidak jauh dari sebuah lapangan sepak bola di tengah Kota Ende. Para turis lokal maupun mancanegara setiap kali berkunjung ke Ende, selalu mengambil gambar di pohon sukun bercabang lima. Untuk mengamankan pohon sukun itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ende memasang pagar berwarna oranye di sekitarnya. Rumah dan pohon sukun yang menjadi saksi sejarah tersebut hingga kini tetap terpelihara dengan baik.

Peristiwa Gaib
Di kalangan warga setempat, rumah pengasingan Bung Karno tersebut dianggap sakral. Kabarnya, setiap orang yang memasuki rumah bekas pengasingan Bung Karno itu harus ”kulonuwun” alias permisi kepada Bung Karno.
Percaya atau tidak, tapi itulah yang saya alami ketika mengunjungi bekas rumah pengasingan Bung Karno itu. Saya lupa ”permisi” untuk melihat sumur tempat Bung Karno mengambil air untuk mandi. Sehingga, menurut seorang rekan saya yang ternyata mengetahui dunia alam gaib, seorang wanita bertubuh sedang mengenakan pakaian hitam mengikuti saya ketika melihat dapur di bekas rumah pengasingan Bung Karno.
”Saya lihat kamu diikuti seseorang bertubuh sedang mengenakan pakaian serba hitam. Saya yakin orang itu adalah salah satu pembantu Bung Karno ketika diungsikan di tempat ini,” ujar Iwan, reporter Radio Pro 2 FM, rekan saya yang mengaku tahu dunia alam gaib itu. Dia bersama saya mengikuti rombongan press tour PT Jasa Raharja mengunjungi rumah tempat pengasingan Bung Karno pada 30 Juni 2005 lalu. Saya setengah percaya dengan cerita rekan saya itu.
Saya memang sempat menimba air di sumur itu dan cuci muka di sana. Apakah karena saya mencuci muka di sumur itu sehingga diikuti wanita bertubuh sedang dan tidak terlihat itu, saya sendiri pun tidak tahu. Tapi, Musa penjaga rumah itu membenarkan hal itu. Dia menambahkan, siapa pun yang memasuki rumah tempat pengasingan itu memang harus meminta izin kepada Bung Karno dengan mengucapkan ”permisi” dalam hati. ”Kalau Anda tidak mengucapkan kata permisi, nanti ada saja rintangan. Misalnya, ketika akan memotret pasti gambarnya tidak tampak,” tutur Musa.
Di rumah bekas itulah kabarnya sejumlah pejabat di negeri ini pernah berkunjung. Bahkan, seorang warga setempat menuturkan, para pejabat tersebut datang dan biasanya samadi di ruang samadi Bung Karno untuk mendapatkan ”sesuatu”. Mantan Ketua Umum DPP Golkar, Ir. Akbar Tanjung pun disebut-sebut pernah mengunjungi bekas rumah pengasingan Bung Karno itu menjelang pembacaan vonis kasasinya di Mahkamah Agung dalam kasus Buloggate. Belakangan Akbar Tanjung lolos dari jeratan alias bebas. Entah benar atau tidak, yang pasti bekas rumah pengasingan Bung Karno di Ende tetap menjadi catatan sejarah lahirnya Pancasila yang menjadi dasar negara ini. (SH/norman meoko)







Copyright © Sinar Harapan 2002